Universitas Gadjah Mada Smart Farming
Teknik Pertanian & Biosistem
Universitas Gadjah Mada
  • Home
  • Tentang Kami
  • Prestasi
  • Publikasi
  • Komunitas (CoP)
  • Kontak Kami
  • Beranda
  • 2020
  • September
Arsip 2020:

September

Video – Three Dimensional Reconstruction for Non-Destructive Plant Growth – Smart Agriculture Research

AkademisifeaturesKomunitas Sunday, 27 September 2020

Three-Dimensional (3D) Reconstruction for Non-Destructive Plant Growth Observation System Using Close-Range Photogrammetry Method adalah salah satu penelitian mahasiswa Teknik Pertanian & Biosistem M. Andi Akbar Arif dibawah bimbingan Dr. Andri Prima N., Dr. Rudiati Evi M. dan Prof. Lilik Sutiarso. Penelitian ini tergabung pada  Smart Agriculture Research Group, Departemen Teknik Pertanian dan Biosistem, Universitas Gadjah Mada.

Sistem yang dirancang terdiri dari alat pemindai tanaman berbasis web-camera yang akan melakukan pengambilan data foto pada objek tanaman. Data foto tanaman yang telah didapatkan kemudian akan diolah menjadi objek tiga-dimensi pada software. Terakhir dilakukan proses pengukuran volumetrik terhadap objek tiga-dimensi tanaman tersebut. Tingkat keakuratan pada metode ini dilakukan dengan cara memvalidasi hasil dari pengukuran volume objek tiga-dimensi dengan pengukuran volume secara konvensional.

Alat pemindai dan rekonstruksi 3D yang dibuat terdiri dari 2 komponen utama dan 1 komponen pendukung. Komponen utama terdiri sistem akuisisi citra dua dimensi foto dan sistem rekonstruksi tiga dimensi. Untuk komponen pendukung alat ini terdiri dari rangka penyangga dari besi siku lubang, lampu LED sebagai lighting tambahan, serta kain untuk alas objek tanaman.

 

Ketika Bertani Itu Bukan Sekedar Urusan Menanam

AkademisifeaturesKomunitasPemerintahUncategorized Tuesday, 15 September 2020

Menjadi seorang urban gardener, seringkali saya ditanya oleh teman yang kebetulan berkunjung dengan kalimat ” mengapa tidak menanam brokoli?” ; “mengapa tidak menanam tanaman selada?” atau “mengapa tanamannya tidak selengkap dulu?” dan pertanyaan-pertanyaan lain yang mengharuskan saya menjelaskan panjang lebar mengenai karakter masing-masing tanaman yang ditanyakan atau menjelaskan musim apa yang cocok untuk menanam tanaman tertentu agar bisa tumbuh optimal.

Hidup di negara tropis yang memungkinkan bisa bertanam aneka tanaman sepanjang tahun bukan berarti semua jenis tanaman yang ditanam bisa hidup dengan baik sepanjang tahun pula. Perguliran waktu dari hari ke hari dalam satu tahun, lokasi tempat bertanam sangat berpengaruh dalam pemilihan jenis tanaman yang dihasilkan. Sebagai misal, seorang urban gardener yang tinggal di Bandung akan bisa menanam aneka sayuran bernilai ekonomis tinggi seperti brokoli, paprika, timun kyuri, dan zucchini dengan mudah sepanjang tahun, karena ketinggian tempat serta iklim mikro di sekitar tanaman relatif stabil dari waktu ke waktu.

Gambar 1. Jenis sayuran yang dapat hidup didataran rendah

Sebaliknya ketika bertanam di wilayah dataran rendah seperti Yogyakarta, pilihan tanaman yang bisa tumbuh dengan baik lebih sedikit, hanya jenis-jenis sayuran dataran rendah (seperti yang dapat dilihat pada gambar 1), terlalu banyak hambatan berbudidaya, mulai dari cuaca yang panas, serangan hama penyakit serta ketersediaan air.

Sobat Smart Farmer, pemahaman hal dasar seperti diatas tentu menjadi sangat perlu, karena menurut saya bertani bukan lagi urusan menebar benih, menanam bibit dan memelihara tanaman, serta menghasilkan tanaman. Dalam bertani terkandung seni memahami setiap fenomena yang berkembang dari waktu ke waktu serta memahami karakter alam dan tanaman yang pada akhirnya memang perlu juga memahami pola konsumsi masyarakat yang berbeda dari satu tempat dengan tempat yang lainnya.

Pada masa lalu masyarakat pertanian secara umum lebih mengedepankan ilmu titen dalam memahami karakter alam, menciptakan pranata mangsa jika di pulau Jawa, atau menggunakan Kerta Mase jika di pulau Bali untuk memudahkan menandai waktu menanam, memupuk, memanen umbi, memanen sayuran dan kapan bisa mengolah makanan tertentu. Namun patut disayangkan pengetahuan lokal tersebut kebanyakan diwariskan dalam bentuk pitutur turun temurun, bukan pengetahuan tertulis sekelas old farmer almanac di Amerika yang terdokumentasikan dengan baik selama ber abad-abad.

Sejalan perkembangan waktu dan tuntutan ekonomi, masyarakat mulai melupakan ilmu titen dan pemahaman akan pengetahuan dasar tata musim tradisional sehingga akhir-akhir ini banyak orang yang menanam sekedar menanam, urusan hasil serahkan pada nasib. Hal ini perlu disikapi dengan adanya pengamatan fenomena yang lebih modern dalam kurun waktu tertentu dengan tujuan akhir automatisasi untuk menandai waktu-waktu optimum dalam menanam dan berbudidaya pertanian secara luas. Dengan begitu, tercipta praktek bertanam yang bukan sekedar menanam, tetapi mempunyai dasar ilmiah mengenai berbagai pilihan jenis dan waktu tanam yang selaras dengan kondisi alam, bukan melulu sekedar urusan menanam.

Sribudi Astuti, alumni TEP angkatan 1997, Pegiat Urban Farming, Pengelola UPT Sub Terminal Agribisnis Tempel merqngkap Kasubbag Perencanaan & Evaluasi Dinas Pertanian pangan dan Perikanan Kab. Sleman.

Hidung Elektronik (E-Nose) untuk Klasifikasi Aroma Kopi Dibandingkan dengan Alat Laboratorium Standard dan Uji Sensoris

AkademisifeaturesUncategorized Tuesday, 15 September 2020

Teknologi hidung elektronik (e-nose) menjadi salah satu teknologi baru (emerging technology) yang banyak dikaji oleh peneliti. Keinginan untuk dapat membantu dan atau menggantikan indera penciuman biologis sebagai salah satu perangkat ukur mutu suatu produk telah mendorong banyak peneliti untuk mengembangkan teknologi tersebut.

Tidak hanya sifat pengukurannya yang lebih obyektif, e-nose memungkinkan dirancang untuk tujuan khusus yang lebih spesifik dibandingkan dengan indera penciuman biologis. Berita terbaru, perangkat e-nose telah dikembangkan untuk mengidentifikasi adanya infeksi virus Covid-19 hanya dengan menggunakan udara pernafasan.

Sebenarnya seperti apa teknologi tersebut dan kemampuannya untuk mengidentifikasi aroma produk pertanian? Beberapa waktu yang lalu, serangkaian kegiatan riset untuk mengkaji kemampuan e-nose dengan basis deret sensor gas sebagai perangkat pengklasifikasi aroma kopi telah dilakukan.

Kemampuan klasifikasi tersebut dibandingkan dengan klasifikasi sampel yang sama menggunakan peralatan laboratorium standard dan metode uji sensoris yang merupakan metode pengukuran mutu produk kopi yang banyak diterapkan di industry. Uraian terhadap hasil kajian tersebut dapat disajikan pada tautan: http://www.iaej.cn/EN/abstract/abstract1201.shtml (http://114.255.9.31/iaej/EN/Y2020/V29/I2/35).

 

Dr. Radi, STP., M.Eng.

Dosen dan peneliti di bidang Agricultural Control and Automation. Departemen Teknik Pertanian dan Biosistem – Fakultas Teknologi Pertanian – Universitas Gadjah Mada.

Hidung Elektronik (E-Nose) Sebagai Perangkat Pemonitor Mutu Kopi Pada Proses Penyangraian

AkademisifeaturesUncategorized Tuesday, 15 September 2020

Dalam proses pengolahan kopi sekunder, sangrai merupakan proses yang berperan penting dalam pembentukan citarasa produk kopi. Untuk menjamin mutu yang baik, proses sangrai harus dimonitor dan dievaluasi secara terus-menerus hingga target derajat sangrai yang dikehendaki dapat dicapai.

Industri pengolahan kopi sekunder umumnya menggunakan metode konvensional, yaitu dengan mempercayakan kegiatan monitoring dan pengendalian proses sangrai pada operator yang telah dilatih. Beberapa metode monitoring mutu sangrai telah dikaji oleh beberapa peneliti, yang secara umum dapat dikategorikan menjadi dua kelompok, yaitu kelompok peneliti yang focus pada penggunaan parameter fisik biji kopi selama sangrai dan sebagian lain menitikberatkan pada parameter mutu kimia dari proses sangrai tersebut.

Meskipun telah banyak dikaji, pada prakteknya penggunaan operator sebagai pemonitor dan pengendali proses sangrai masih menjadi pilihan utama. Mewarnai kajian tersebut, penelitian tentang penerapan e-nose untuk memonitor proses penyangraian kopi telah dilakukan. Dalam hal ini, e-nose dirancang dengan basis deret sensor gas yang dikombinasikan dengan sistem pengkondisi signal dan sistem perekam serta penganalisis data.

Hasil penelitian menunjukan adanya hubungan antara respon deret sensor dengan derajat sangrai. Hasil penelitian secara lengkap disajikan pada tautan: https://doi.org/10.1142/S0218126616501164.

 

Dr. Radi, STP., M.Eng.

Dosen dan peneliti di bidang Agricultural Control and Automation. Departemen Teknik Pertanian dan Biosistem – Fakultas Teknologi Pertanian – Universitas Gadjah Mada.

Model Wireless Sensor Network (WSN) Berbasis Modul Radio Frekuensi (RF Module) untuk Pengembangan Smart Irrigation System (SIS) pada Lahan Perkebunan

AkademisifeaturesKomunitasPemerintahUncategorized Tuesday, 15 September 2020

Irigasi menjadi bagian penting dalam kegiatan usaha tani. Seiring dengan semakin terbatasnya sumberdaya air yang dapat dimanfaatkan untuk kegiatan pertanian tersebut, petani modern mulai menerapkan metode pemberian air pada tanaman budidaya secara presisi, yaitu sebuah cara pemberian air yang menggunakan dasar ukuran tertentu. Dengan kata lain, pemberian air tidak dilakukan semaunya, tetapi didasarkan atas kebutuhan tumbuh tanaman. Untuk tujuan tersebut, penerapan sistem pengaturan pada pemberian air irigasi banyak dikembangkan.

Dalam pertanian skala besar, seperti pada perkebunan, pengaturan air irigasi sangat diperlukan. Disamping untuk mengurangi kebutuhan tenaga kerja, pengaturan tersebut juga dapat mengoptimalkan luasan budidaya dari ketersediaan sumber air yang terbatas.

Meskipun berbagai teknologi Internet of Thing (IoT) telah memberikan peluang pengembangan sistem irigasi cerdas (smart irrigation system, SIS), beberapa perkebunan di Indonesia masih menghadapi sejumlah kendala. Sebagai contoh misalnya perkebunan nanas di PT. Great Giant Food Lampung yang memiliki lahan budidaya luas, sebagian besar wilayah perkebunannya tidak terjangkau oleh jaringan internet. Kondisi tersebut menjadi penghambat pada penerapan teknologi IoT yang tersedia saat ini.

Salah satu upaya untuk tetap mengembangkan sistem irigasi tersebut adalah dengan menerapkan teknologi komunikasi data berbasis jaringan frekuensi radio (radio frequency, RF) untuk mengubungkan titik-titik (node) yang menjadi bagian dari SIS tersebut. Salah satu kajian penerapan teknologi RF sebagai penghubung antar node dalam sebuah SIS diberikan pada: https://doi.org/10.1109/CENIM.2018.8710986.

 

Dr. Radi, STP., M.Eng.

Dosen dan peneliti di bidang Agricultural Control and Automation. Departemen Teknik Pertanian dan Biosistem – Fakultas Teknologi Pertanian – Universitas Gadjah Mada.

Perancangan Sistem Monitoring Bioacoustic Berbasis Microcomputer Dengan Integrasi Cloud

AkademisiKomunitas Monday, 14 September 2020

Indonesia sebagai negara agraris tidak lepas dari permasalahan yang menghambat peningkatan produksi pertanian salah satunya serangan hama dan penggangu tanaman. Maka dari itu diperlukan sebuah konsep pengendalian hama terpadu untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Salah satu metode dalam pengendalian hama terpadu yang digunakan adalah pengendalian berbasis gelombang suara (akustik).

Sobat Smart Farmer, bioakustik merupakan ilmu biologi terapan yang mempelajari mengenai karakteristik suara, organ suara, fungsi suara, analisis suara, dan manfaat suara pada hewan. Sinyal akustik yang dihasilkan oleh serangga dapat dijadikan sumber informasi mengenai keberadaan dan perilakunya.

Kerangka Pikir Pengembangan Sistem

Gambar 1. Ilustrasi Kerangka Pikir Perancangan AGRI-BIAMON

AGRI-BIAMON adalah alat pemonitor hama pada lahan pertanian yang terintegrasi dengan cloud. Sistem pemonitor hama ini dapat mempermudah dan membantu petani dalam pendeteksian hama di lapangan. Sistem ini menggunaan teknologi cloud untuk mendukung pengambilan data dengan Smartphone. Sistem yang dirancang terdiri dari Solar charger controller, Solar Module, GSM Modem, Microcomputer, Baterai, dan Microphone.

Sistem ini akan mendeteksi suara hama yang ada di lapangan berupa sinyal akustik, kemudian data tersebut akan dikirimkan ke cloud dengan menggunakan koneksi internet. AGRI-BIAMON mendeteksi bunyi suara hama dan mengirimkan datanya ke cloud secara real time. Hasil pengukuran sebelumnya, alat ini telah dapat mendeteksi sinyal akustik yang dihasilkan oleh Dundubia manifera dan Gryllus assimilis.

Hasil Perbandingan Kinerja AGRI-BIAMON Dengan Zoom Recorder

Gambar 2. Grafik Low Frekuensi AGRI-BIAMON dan Zoom Terhadap Low Frekuensi Acuan

 

Gambar 3. Grafik High Frekuensi AGRI-BIAMON dan Zoom Terhadap High Frekuensi Acuan

Dari hasil Gambar 2 dan Gambar 3 dilakukan uji kinerja AGRI-BIAMON dengan alat yang sudah ada yaitu Zoom Recorder. Zoom Recorder merupakan Alat yang berfungsi menangkap gelombang suara secara manual dan belum terintegrasi cloud server. Pengujian dilakukan selama 4 hari di lahan pertanian PIAT, dan didapatkan hasil perbandingan low frekuensi dan high frekuensi pada AGRI-BIAMON dan Zoom. Kemudian dianalisis menggunakan software Raven Pro. Dari hasil frekuensi yang didapat dari masing-masing alat, dilakukan perbandingan kinerja menggunakan metode Root Mean Square error (RMSE) dan Meant Aboslute Percentage Error (MAPE).

Hasil yang diperoleh menggunakan RMSE pada low frekuensi  AGRI-BIAMON  sebesar 2884.84 Hz dan Zoom 3068.22 Hz, sementara untuk metode MAPE pada AGRI-BIAMON memperoleh 14.52% dan Zoom 15.80%. Kemudian pada high frekuensi menggunakan metode RMSE pada AGRI-BIAMON memperoleh 2609.64Hz dan Zoom 2779.16 Hz, sementara dengan menggunakan metode RMSE pada AGRI-BIAMON sebesar 11.94% dan Zoom 12.14%.

Berdasarkan kedua perbandingan tersebut, AGRI-BIAMON lebih mendekati frekuensi acuan dan persentase error lebih kecil dari Zoom. Adapun indikator yang menyebabkan AGRI-BIAMON lebih baik yaitu jarak jangkrik dengan alat ini lebih dekat dibandingkan Zoom dan juga saat melakukan analisis masih dilakukan secara manual sehingga bisa menyebabkan (human error).

Acknowledgment

Penelitian ini didanai dengan Hibah Pendanaan Penelitian dan Pengabdian Inovasi Agroteknologi Tahun 2019 yang dilaksanakan di Lab Smart Agriculture Research dalam merintis penerapan pertanian presisi menggunakan Monitoring Bioacoustic untuk mendukung Pengendalian Hama Terpadu. Penelitian ini dibimbing oleh: Dr. Andri Prima Nugroho, S.TP., M.Sc.,Ph.D. dan Susilo Hadi., S.Si., M.Si., Ph.D.

[simple-author-box]

Analisis Bioakustik pada Lahan Pertanian untuk Mendukung Penerapan Pengendalian Hama Terpadu

AkademisiKomunitas Monday, 14 September 2020

Dewasa ini, produksi padi di Indonesia sempat mengalami penurunan. Seperti di Yogyakarta, terjadi penurunan sebesar 0,18%. Salah satu penyebabnya adalah serangan hama pada tanaman budidaya. Maka dari itu perlu dilakukan penanggulangan berupa pengendalian hama terpadu. Metode yang banyak digunakan yaitu Passive Acoustics Monitoring. Sobat Smart Farmer, metode ini memanfaat sinyal akustik dari organisme untuk memonitoring pola perilaku oragnisme satu dengan yang lain. Serangga jangkrik merupakan salah satu organisme yang bisa menjadi hama tanaman. Dengan menggunakan metode ini periode waktu aktif serangga jangkrik akan dapat diketahui.

Kerangka Pikir Pengembangan Sistem

Gambar 1. Ilustrasi kerangka pikir Metode Passive Acoustics Monitoring berbasis microcomputer terintegrasi cloud

Kerangka pemikiran dari Metode Passive Acoustics Monitoring berbasis microcomputer terintegrasi cloud diilustrasikan dalam Gambar 1. Alat Monitoring terdiri dari Raspberry sebagai CPU, aki dan solar panel sebagai sumber daya energy dan Microphone Rode sebagai penangkap suara. Hasil dari data suara tersebut di simpan ke SD Card dan disinkronkan dengan Cloud Server yang telah dibuat.

Kelebihan metode  user tidak perlu ke lahan untuk mengecek data yang di dapat, user hanya memerlukan smartphone atau PC untuk melakukan monitoring secara berkala. Selanjutnya untuk akuisisi data yang didapat, user menggunakan software Raven Pro 1.6 dan Microsoft Excel sehingga didapatkan visualisasi data yang mudah dipahami. Dari data yang sudah ada, harapannya bisa digunakan sebagai dasar Pengendalian Hama Terpadu berbasis Artificial Intelligence (AI).

Hasil Pengamatan Distribusi Frekuensi

Gambar 2. Distribusi frekuensi tiap tipe suara

Pada Gambar 2. dapat dilihat bahwa terdapat 10 tipe suara yang memiliki frekuensi pada kisaran 3 kHz sampai 11 kHz. Frekuensi setiap tipe suara berbeda-beda. Hal tersebut dikarenakan setiap spesies memiliki kedudukan tersendiri dalam suatu waktu dan frekuensi tertentu untuk menghindari adanya persaingan akustik dan tumpang tindihnya suara yang dihasilkan. Selain itu, menunjukkan bahwa setiap tipe suara serangga jangkrik memiliki relung dan karakter antar spesies yang berbeda antara satu dengan yang lain.

Karakteristik Bioakustik

Tabel 1. Pengelompokan jenis tipe suara

Dari tabel diatas 10 tipe suara yang di dapat di kelompokkan ke dalam dua jenis tipe suara yaitu Chirp dan Trill. Chirp adalah tipe suara yang yang pendek, dan biasanya antar chirp dipisahkan oleh jeda waktu diam. Sementara trill merupakan suara yang terdiri dari beberapa pulse yang berbunyi cepat sehingga sulit untuk dapat dihitung. Suara ini biasanya berdurasi sekitar beberapa detik atau lebih lama. Pada tabel diatas yang termasuk tipe suara trill adalah TS 2, 3 dan 5. Sementara tipe suara chirp adalah TS 1, 4,6,7,8.9 dan 10. Contoh karakteristik untuk tiap tipe suara dijelaskan di bawah berikut:

Gambar 3 a) Oskilogram TS1 ; b) Spektrogram TS 1

Tipe Suara (TS) 1 menunjukkan jenis tipe suara chirp. Durasi bersuara untuk masing-masing chirp berbeda, tergantung jumlah pulse-nya. Pada TS 1 untuk durasi 5 pulse dibutuhkan 0,2255 s dan untuk durasi 5 pulse 0,2655 s. Sementara untuk jeda call antar chirp di dapatkan 1,458 s. Frekuensi terendah, tertinggi dan puncak pada TS 1 berturut turut adalah 3968,47 ; 5289,17 dan 4697,47 Hz.

Ritme Temporal Bioakustik

Gambar 4. Ritme Temporal

Dari hasil analisa ritme temporal bioakustik, pada siang hari sampai sore hari jangkrik jarang mengeluarkan suara dikarenakan untuk menghindari serangan predator pada siang hari, seperti predator burung. Sementara pada malam hari muncul tipe suara yang banyak dikarenakan jangkrik sedang melakukan aktivitas seperti makan, menarik perhatian jangkrik betina dan mempertahankan daerah territorial dengan mengeluarkan bunyi dengan frekuensi yang tinggi sehingga predator yang lain merasa terganggu. Selain merugikan petani, terkadang suara jangkrik juga bisa bermanfaat untuk meningkatkan hasil pertanian, hal itu dikarenakan suara dari jangkrik bisa mempercepat proses pembukaan stomata pada pagi hari.

Dari hasil penelitian yang dilakukan di lahan pertanian PIAT, Berbah, Sleman dapat disimpulkan hubungan antara keterkaitan analisis bioakustik dengan keberadaan hama itu signifikan dilihat dari data akustik menunjukkan serangga jangkrik yang mulai aktif pada pukul 14.55 sore sampai 08.55 pagi, dan puncak aktif serangga jangkrik pukul 22.05-22.45 WIB dengan 7 tipe suara yang aktif yaitu: TS 1, 2, 4, 5, 7, 9 dan 10.

Acknowledgment
Penelitian ini didanai dengan Hibah Pendanaan Penelitian dan Pengabdian Inovasi Agroteknologi Tahun 2019 yang dilaksanakan di Lab Smart Agriculture Research dalam merintis penerapan pertanian presisi mengunakan monitoring bioakustik untuk mendukung Pengendalian Hama Terpadu . Penelitian ini dibimbing oleh: Andri Prima Nugroho, STP., M.Sc., Ph.D. dan Susilo Hadi, S.Si., M.Si., Ph.D.

[simple-author-box]

Pengembangan Konsep Pertanian Presisi di Indonesia

AkademisiKomunitasPemerintahUncategorized Sunday, 13 September 2020

Sejalan dengan berlangsungnya revolusi industri menuju era industri 4.0 telah membawa perubahan yang sangat signifikan, tidak hanya pada bergesernya jenis teknologi yang kita gunakan, tetapi lebih penting lagi adalah perubahan pola pikir (mindset) dalam memasuki era industri yang baru ini. Hal ini memberikan pengaruh terhadap arah pembangunan nasional yang tadinya bertumpu pada sektor pertanian menjadi industri yang kemudian berdampak pada wajah sistem pertanian Indonesia.

Sistem pertanian tidak lagi hanya dipersepsikan sebagai kegiatan bercocok tanam saja semata, tetapi pertanian merupakan bagian sistem industri yang ditandai dengan transformasi bahan baku (raw materials) menjadi produk pertanian (agricultural products) yang siap untuk dimanfaatkan dan memiliki nilai tambah, baik dari aspek ekonomi, sosial maupun lingkungan. Paling tidak ada tiga tahapan dalam sistem industri pertanian yang dapat diidentifikasi, yaitu; (i) sub sistem penyediaan bahan baku, (ii) sub sistem pengolahan, dan (iii) sub sistem distribusi dan pemasaran.

Gambar 1. Skema sistem industri pertanian dan komponen sistem

Pada Gambar 1 terlihat bahwa pada setiap tahapan dalam proses industri membutuhkan sumberdaya dalam berbagai bentuk yang memberikan kontribusi pada peningkatan kualitas produk akhir nantinya. Dalam konsep sistem industri pertanian atau industri yang memanfaatkan sumberdaya hayati (bioresources) dan non hayati, penggunaan sumberdaya (input sistem) yang berlebihan belum tentu memberikan hasil yang maksimal juga. Karena masing-masing komponen sistem tersebut (Gambar 1) memiliki karakteristik (perilaku) dan kondisi awal (initial state) yang berbeda-beda. Oleh karena itu, fenomena ini menjadi sangat penting untuk dipertimbangkan pada saat kita mendesain sistem industri pertanian. Pemikiran (persepsi) baru dalam pengembangan sistem pertanian tersebut yang kemudian dikenal dengan pertanian modern.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, pengembangan pertanian modern ditandai salah satunya dengan perubahan pola pikir penggunaan sumberdaya hayati dan non hayati yang tepat sesuai dengan kebutuhan. Ketepatan penggunaan sumberdaya dalam sistem produksi pertanian kemudian disebut dengan pertanian presisi (precision agriculture). Pengertian pertanian presisi haruslah dilihat dari berbagai persepektif (sudut pandang) untuk mendapatkan pemahaman yang komprehensif, antara lain; perspektif manajerial, tingkatan teknologi, aspek ekonomi, lingkungan sosial budaya masyarakat petani.

Pertanian presisi adalah konsep pertanian dengan pendekatan sistem untuk menuju pertanian dengan rendah pemasukan (low-input), efisiensi tinggi, dan pertanian berkelanjutan. Pengertian lain menyebutkan bahwa pertanian presisi adalah sistem pertanian yang mengoptimalkan penggunaan sumberdaya untuk mendapatkan hasil yang maksimal dan juga mengurangi dampak terhadap lingkungan. Konsep yang diperhatikan diantaranya dengan pendekatan sistem (system approach) yang memperhatikan input, proses, output, dan outcome.

Tantangan bagi petani kita di Indonesia dalam era pertanian presisi harus memiliki kemampuan dalam pengelolaan lahan, pengelolaan tanaman, pengelolaan alat dan mesin pertanian, baik yang digunakan pada tahapan pra-panen maupun pascapanen, serta pengelolaan tenaga kerja. Hal ini tentunya akan sangat mempengaruhi pada tingkat keberhasilan dalam implementasi pertanian presisi. Akselerasi pengembangan pertanian presisi di Indonesia juga tidak dapat lepas dari pemanfaatan teknologi modern saat ini. Teknologi yang diaplikasikan harus mampu dalam mendeteksi apa yang ada di lahan, memutuskan apa yang akan dilakukan, dan memberikan perlakuan yang sesuai dengan keputusan yang telah dibuat.

Saat ini berbagai jenis teknologi yang mendukung implementasi pertanian presisi sudah banyak dikembangkan, walaupun penggunaannya masih terbatas pada tataran riset dan uji coba. Namun demikian hal ini menunjukkan optimisme kita bersama bahwa transisi menuju pertanian presisi di Indonesi sudah melalui jalur yang benar. Berikut beberapa jenis teknologi dalam pertanian presisi yang bisa dicontohkan, antara lain; (i) Geographical Position System (GPS), (ii) Geographic Information System (GIS), (iii) Variable Rate Application (VRA), (iv) Remote Sensing System, (v) Yield Mapping, (vi) Database Management System (DBMS), Spatial Variability. Dalam pertanian presisi, jenis teknologi tersebut di atas memberikan dukungan dalam proses pengambilan keputusan untuk dapat menentukan perlakuan yang tepat dan memberikan manfaat dalam tahapan sistem produksi.

Berikut salah satu contoh hasil riset yang telah dilaksanakan oleh penulis, dkk. (2018 & 2019) terkait dengan pengembangan pertanian presisi berbasis model keberagaman sifat tanah yang didanani oleh Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi. Ada tiga tahapan yang dilakukan dalam penelitian ini, yaitu; (i) mengidentifikasi tingkat kesuburan tanah berdasarkan kandungan unsur hara, (ii) mengembangkan instumen (tools) untuk pengambilan keputusan (DSS), dan (iii) memberikan perlakuan pada lahan dengan penambahan pupuk secara tepat. Gambar 2 dan 3 memperlihatkan hasil monitoring perubahan tingkat kesuburan tanah berdasarkan perubahan refleksi tanah (deteksi panjang gelombang tanah) dan peta sebaran tingkat ketersediaan unsur hara yang dibutuhkan tanaman.

Gambar 2. Tingkat kesuburan tanah yang ditandai dengan ketersediaan hara

Gambar 3. Pengelompokan lahan berdasarkan kebutuhan pemupukan (Urea & SP-36)

 

 

 

Penentuan kualitas pangan dan produk pertanian secara non-destruktif (Bagian 2: Teori dan interpretasi gelombang Infrared)

Uncategorized Friday, 11 September 2020

Bagian 2. Teori dan interpretasi gelombang Infrared

Pada saat gelombang elektromagnetik (g.e.m) mengenai suatu materi, baik itu bahan pangan atau pertanian, maka akan terjadi interaksi antara g.e.m dengan bahan tersebut. Bahan pangan dan pertanian tersusun dari molekul-molekul baik molekul unsur atau molekul senyawa, yang didalamnya terdapat ikatan atom-atom. Radiasi g.e.m akan memberikan berbagai efek pada molekul, seperti pada Gambar 1. Salah satu jenis g.e.m adalah gelombang infrared yang dapat dibagi menjadi 3 region, yaitu near infrared (NIR), mid infrared (MIR), dan far infrared (FIR). Gelombang yang sering dipakai untuk analisis pangan dan pertanian adalah NIR (panjang gelombang 600-2500 nm atau 10,000-4000 cm-1) dan MIR (2500-10,000 nm atau 4000-600 cm-1).

Gambar 1. Pengaruh radiasi gelombang elektromagnetik terhadap molekul

Radiasi infrared merupakan energi yang dapat menginduksi getaran molekul yang kuat dalam ikatan kovalen (diasumsikan sebagai pegas yang menyatukan dua massa atau atom). Ikatan kovalen ‘spesifik’ akan merespon dengan menyerap frekuensi tertentu, sedangkan frekuensi yang tidak sesuai akan dipantulkan (direfleksikan) atau diteruskan (ditransmisikan) seperti pada Gambar 2.

Gambar 2. Skema penyerapan dan penerusan frekuensi cahaya. Dari semua frekuensi yang diterima, obyek akan menyerap frekuensi gelombang tertentu dan meneruskan frekuensi gelombang yang lain. Detektor mendeteksi frekuensi yang diteruskan (ditransmisikan) yang pada akhirnya dapat diketahui frekuensi yang diserap.

Jika ada gelombang NIR atau MIR dengan frekuensi yang ‘sesuai’ dengan frekuensi yang ‘diinginkan” maka ikatan atom tersebut akan bergetar (bervibrasi) lebih cepat. Ikatan kovalen dapat bergetar dalam beberapa jenis getaran, termasuk stretching, rocking, dan scissoring. Respon ini akan dideteksi dan diterjemahkan dalam bentuk visual yang disebut spektrum. Spektrum adalah plot frekuensi yang ditransmisikan atau diserap (digambarkan dalam sumbu x dalam satuan cm-1 atau bilangan gelombang = wavenumber) vs intensitas transmisi atau penyerapan (digambarkan pada sumbu y dalam satuan persentase). Sebagai contoh spektrum dapat dilihat pada Gambar 3. Setelah spektrum diperoleh maka informasi tersebunyi dalam spektrum tersebut harus dapat diekstrak yang dilakukan melalui pengenalan pola tertentu, menghubungkan pola spektrum tersebut dengan parameter fisik, dan menginterpretasi pola-pola tersebut supaya berarti.

Gambar 3. Spektrum dalam mode absorption (menunjukkan banyaknya radiasi yang diserap) dan transmission (menunjukkan banyaknya radiasi yang diteruskan)

Intensitas pita IR dapat diklasifikasikan kuat, sedang, atau lemah, tergantung pada intensitas relatifnya dalam spektrum inframerah.  Hanya ikatan kovalen polar yang menampilkan pita (bands) dalam spektrum IR yang intensitasnya tergantung pada besarnya dipol momen ikatan tersebut. Misalnya ikatan polar yang besar dari gugus karbonil (C = O) menghasilkan intensitas yang kuat, ikatan polaritas sedang dan ikatan asimetris menghasilkan intensitas medium, sedangkan ikatan polar lemah dan ikatan simetris menghasilkan intensitas lemah atau tidak terdeteksi. Gambar 3. Spektrum dalam mode absorption (menunjukkan banyaknya radiasi yang diserap) dan transmission (menunjukkan banyaknya radiasi yang diteruskan)

IR dapat digunakan untuk memberikan informasi tentang ada atau tidak adanya gugus fungsi tertentu serta memberikan informasi molekul yang unik (molecular fingerprint) yang dapat digunakan saat membandingkan sampel, yang mana jika dua sampel murni menampilkan spektrum IR yang sama maka dapat dikatakan bahwa mereka adalah senyawa yang sama. Gambar 4 menunjukkan wilayah spektrum tempat terjadinya penyerapan oleh ikatan atom tertentu. Sebagai contoh, intensitas besar pada 2200-2400 cm-1 menunjukkan kemungkinan adanya ikatan rangkap tiga C-N atau C-C.

Gambar 4. Wilayah spektrum pada region IR tempat terjadinya penyerapan oleh ikatan atom tertentu

Spktroskopi adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara gelombang elektromagnetik dengan bahan/materi. Sebagian besar produk hayati menunjukkan absorpsi yang unik sehingga dapat digunakan untuk analisis kualitatif dan kuantitatif. Sudah disebutkan bahwa cahaya dari gelombang inframerah (MIR dan NIR) akan menginduksi getaran pada gugus fungsional, sehingga MIR dan NIR dikategorikan vibrational spectroscopy, namun energi NIR lebih tinggi dibandingkan dengan MIR. Selain itu, jika pada wilayah MIR menunjukkan adanya fundamental vibration dari molekul, maka pada region NIR menunjukkan adanya overtone dan combination bands, seperti ditunjukkan pada Gambar 5.

Gambar 5. Pita penyerapan utama pada wilayah NIR.

Getaran di wilayah MIR diklasifikasikan sebagai fundamental yang artinya transisi dari keadaan dasar ke keadaan tereksitasi pertama; elektron jika dikenai energi akan mengalami eksitasi atau berpindah ke level energi yang lebih tinggi. Di lain sisi, getaran di daerah NIR dapat berupa pita kombinasi (combination bands) yang merupakan eksitasi dari dua getaran yang digabungkan atau nada tambahan (overtone). Overtones merupakan getaran dari keadaan dasar ke tingkat eksitasi di atas keadaan pertama. Combination dan overtone bands ini lebih rendah kemungkinan terjadinya dibandingkan fundamental vibration sehingga intensitas puncak dalam wilayah NIR lebih rendah daripada puncak di wilayah MIR. Gambar 6 menunjukkan perbedaan antara spektrum gelombang NIR dan MIR yang mana dapat dilihat pada MIR lebih banyak dan lebih tajam pita (bands) yang dapat dideteksi pada panjang gelombang tertentu.

Gambar 6. Contoh penyerapan gelombang oleh NIR dan MIR (insert)

NIR memiliki beberapa keunggulan dibandingkan IR karena lebih mudah dan tidak memerlukan persiapan sampel, serta dapat diaplikasikan pada berbagai jenis parameter kimia dan fisika dari produk pangan dan pertanian. (Rudiati Evi Masithoh)

 

Referensi: Alyson Lanciki (https://metrohm.blog/2020/02/24/nir-spectroscopy-benefits-part-2/) dan UT Dallas Lecture notes (https://personal.utdallas.edu/~scortes/ochem/OChem_Lab1/recit_notes/ir_presentation.pdf)

[simple-author-box]

Komentar Terbaru

  • Digitalisasi Tech on Webinar IMATETANI – Implementasi Teknologi Internet of Things (IoT) untuk Smart Farming
  • nabila putri on Pengenalan Field Monitoring System
  • Mangaip Blog on Webinar IMATETANI – Implementasi Teknologi Internet of Things (IoT) untuk Smart Farming
  • Emilia on Perancangan Sistem Informasi Kebutuhan Dosis Pupuk Berbasis Web Di Kebun Buah Nawungan Selopamioro Kabupaten Bantul
  • ahmad on Review – Analisis Big Data dalam Bidang Pertanian
Universitas Gadjah Mada

Menara Ilmu Smart Farming

DEPARTEMEN TEKNIK PERTANIAN & BIOSISTEM
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA

Jln. Flora 1. Bulaksumur 55281 Yogyakarta Indonesia
  smart-farming.tp@ugm.ac.id
  +62-274-563-542
  +62-274-563-542

© Universitas Gadjah Mada 2017

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY