Label Indonesia sebagai negara agraris perlu dikaji ulang dengan memperhatikan berbagai faktor dan fakta yang ada saat ini. “Orang bilang tanah kita tanah surga .. tongkat kayu dan batu jadi tanaman” merupakan penggalan lirik lagu “Kolam Susu” yang dinyanyikan Koes Plus pada era tahun 70’an, pastinya sudah tidak cocok lagi dengan kondisi sekarang. Pekerjaan sebagai petani tidak lagi memberikan kebanggaan pada diri sendiri, keluarga maupun masyarakat. Apalagi kalau sektor ini menjadi mata pencaharian utama untuk mendukung ekonomi keluarga, bisa dikatakan bahwa keluarga petani masih berada di bawah batas hidup yang layak. Sebenarnya kalau kita melihat angka-angka capaian dalam indikator pembangunan pertanian Indonesia, antara lain; produktivitas tanaman pangan pokok, rasio impor – ekspor dan indeks daya saing produk pertanian, nilai tukar petani, sumbangan PDB sektor pertanian dibanding dengan sektor lain, serta laju konversi lahan pertanian menjadi non-pertanian per tahun, memberikan kesimpulan bahwa kita harus melakukan perubahan paradigma (reorientasi dan re-design) pembangunan pertanian yang paling mendasar.
Pembangunan pertanian selama ini masih pada tataran pemenuhan sarana prasarana fisik untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas, misalnya; pengadaan alat dan mesin pertanian, subsidi pupuk, sarana saluran irigasi, yang tentunya untuk kepentingan pengukuran capaian kinerja serapan anggaran mudah untuk dilakukan. Kita belum bisa mendapatkan bukti nyata dampak positif yang signifikan. Belum ada perubahan nyata terkait dengan indikator makro sektor pertanian kita sehingga mampu bersaing dengan negara-negara tetangga kita.
Solusi yang telah banyak dikemukakan oleh para pakar bidang pertanian di Indonesia, baik yang berasal dari perguruan tinggi maupu badan litbang terkait sebenarnya memberikan angin segar bagi perubahan arah kebijakan pembangunan pertanian Indonesia. Perubahan kondisi global terkait dengan sistem pertanian memberikan dukungan yang kuat untuk kita berubah, salah satunya berkembangnya konsep bio-economy, green economy, circular economy (BGC economy) yang pada intinya memberikan peran lebih dominan sektor pertanian sebagai basis pertumbuhan ekonomi suatu negara. Optimalisasi sistem pertanian dan sumberdaya pendukungnya memegang peranan dalam penentuan kebijakan “new agricultural system” di Indonesia. Banyak referensi terkait dengan pengembangan konsep BCG economy yang pada dasarnya bisa digambarkan seperti dalam Gambar 1.
Gambar 1. Penerapan model BCG economy dalam sistem pertanian.
(Sumber: D.D’Amato et.al., 2017)
Pendekatan konsep BCG economy yang diterapkan pada pembangunan sistem pertanian memberikan arah yang lebih jelas dalam pengukuran indikator keberhasilannya, yaitu; nilai tambah ekonomi yang dihasilkan oleh sistem tersebut, selain itu tentunya parameter produktivitas, kualitas, maupun efisiensi penggunaan sumberdaya menjadi pertimbangan dalam mengukur hasil pembangunan pertanian.
Pada tataran implementasi konsep BCG economy dalam sistem pertanian Indonesia rasanya tidak semudah yang kita bayangkan. Perubahan iklim (climate change), penguasaan lahan pertanian per petani, keterbatasan akses teknologi dan jaringan kerjasama, serta kompetensi SDM pertanian menjadi kendala yang kita hadapi bersama yang mungkin akan menjadi penghambat laju pembangunan “new agricultural system” di Indonesia.
Tim peneliti Departemen Teknik Pertanian dan Biosistem Fak. Teknologi Pertanian UGM telah mengembangkan suatu sistem pertanian terpadu (integrated agricultural system) yang mengintegrasikan dengan konsep BCG economy, yang dinamakan Sistem Integrasi Tanaman – Ternak – Ikan (SITTI). SITTI merupakan bentuk integrasi dari tiga sistem yang saling terkait dan memberikan respon positif berupa aliran material dan energi. Aliran energi dalam pertanian merupakan kunci keseimbangan energi di ekosistem secara keseluruhan. Seluruh kegiatan pertanian ditunjukkan untuk memperoleh produksi maksimum per unit satuan luas tertentu dari tanah pertanian, yaitu dengan (i) melakukan tata cara bertani menggunakan teknologi yang terus-menerus diperbaharui untuk memperoleh keuntungan maksimum, (ii) menekan sekecil kecilnya ketidakmantapan dalam produksi pertanian, dan (iii) mencegah penurunan kapasitas produksi tetapi secara langsung juga tidak mengorbankan keseimbangan.
Sinergitas antara SITTI dengan BGC economy merupakan solusi penyelesaian permasalahan yang komprehensif dengan tetap mempertimbangkan kesetimbangan ekosistem, baik dari aspek ekonomi, sosial dan lingkungan hidup. Ilustrasi contoh penerapan SITTI yang telah dikembangkan dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Diagram pengembangan dan implementasi SITTI pendekatan BGC economy
[simple-author-box]